METODE KAIDAH
DAN TERJEMAH
A.
Sejarah
Pertumbuhannya
Lahirnya
metode kaidah dan terjemah dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan mempelajari
dan mengajarkan bahasa asing. Metode ini digunakan untuk mengajarkan bahasa
yang memiliki peradaban masa lampau. Selain itu, metode ini bermuara pada zaman
kebangkitan di Eropa. Pada masa kebangkitan tersebut bahasa Yunani dan bahasa
Latin digunakan untuk mentransfer warisan kemanusiaan ke dunia Barat yang
ditulis dalam berbagai macam bahasa.[1]
Istilah metode
kaidah dan terjemah dikenal pada tahun 1930-an. Pada akhir abad ke-19, di
Amerika lebih dikenal dengan istilah ThePrussian Method dan The Ciceronian
Method. Sampai sekarang metode ini masih digunakan dalam proses
pembelajaran bahasa Arab di luar negara Arab, khususnya oleh para pengajar
bahasa Arab yang bukan penutur asli. Metode kaidah terjemah menitikberatkan
pada pengajaran kaidah secara teori dan langsung serta berpegang pada
terjemahan bahasa ibu ke bahasa sasaran, dan sebaliknya.[2]
Metode ini dapat dibilang ideal, karena kelemahan dari salah satu metode
tersebut telah sama-sama saling menutupi dan melengkapi. Metode ini terlebih
dahulu mengajarkan materi gramatika dan kemudian menerjemahkan.[3]
B.
Ciri-ciri dan
Tujuan Metode Kaidah dan Terjemah[4]
Metode kaidah
dan terjemah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Metode kaidah dan terjemah
memandang bahwa syarat yang harus diketahui sebelum mempraktikan bahasa adalah
dengan menghafal kaidah dan menguasainya secara teori. Oleh karena itu, semua
kaidah bahasa Arab, baik nahwu maupun sharap dipelajari secara terperinci
beserta pengecualian-pengecualiannya, dan hal-hal yang menyalahinya.
2.
Memandang bahwa setelah menghafal
kaidah, hal utama yang harus dilakukan dalam mempelajari bahasa sasaran adalah
menghafal kosakata dan memahami maknanya dengan menggunakan terjemahan.
3.
Dalam proses pembelajaran, guru
lebih banyak berbicara tentang bahasa daripada berbicara dengan bahasa. Oleh
karena itu, siswa dituntut untuk mengetahui karakteristik bahasa sasaran dan
membandingkannya dengan bahasa lain, terutama bahasa ibu yang dikuasainya.
4.
Metode ini lebih memperhatikan
kemampuan membaca dan menulis secara tradisional dan tidak memperhatikan
keterampilan mendengar dan berbicara. Sehingga dengan hal tersebut, metode ini
menekankan kebenaran kaidah bahasa, imla, dan terjemah, serta sedikit
memperhatikan kecakapan berbahasa.
5.
Pada fase awal mempelajari bahasa,
metode ini menaruh perhatian yang berlebihan terhadap teks-teks sastra dan
menjadikannya sebagai materi untuk melatih analisis nahwu, bukan isi teks
tersebut.
6.
Memilih kosakata yang ada dalam
teks-teks yang dibaca dan memahami semua kata-kata tersebut ketika menerjmahkan
tanpa memperhatikan kaidah tingkat keterpakaian kata dan kebutuhannya dalam
berkomunikasi. Kemudian meletakkannya pada tabel beserta tashrif dan pecahan
katanya dan menghafalnya secara terpisah.
7.
Membatasi latihan-latihan dengan
hanya menerjemahkan kata-kata, frase-frase, dan kalimat-kalimat yang tidak
terkait satu dengan lainnya, dari bahasa ibu ke bahasa sasaran dan sebaliknya.
Adapun tujuan
umum metode ini adalah agar orang yang mempelajari bahasa sasaran mampu membaca
teks-teks tulis dan menjadikannya sebagai medium dalam melatih akal pikiran,
mengembangkan kemampuan berpikir, dan mampu menerjemahkan bahasa sasaran ke
bahasa ibu, dan sebaliknya.
C.
Teori dan
Pendekatan Metode Kaidah dan Terjemah[5]
Menurut
Ricards dan Rogers, metode ini tidak berangkat dari suatu pendekatan dan tidak
mempunyai teori. Metode ini adalah metode tradisional yang memandang bahwa
bahasa itu adalah kaidah-kaidah yang kering. Mempelajari bahasa adalah
mempelajari kaidah-kaidah kenahasaan dan menghafal kosakata kemudian mampu
membaca, memahami teks-teks dan menerjemahkannya dari bahasa ibu ke bahasa
sasaran, dan sebaliknya. Dibalik pendapat tersebut, ada sebagian ahli yang
berpendapat bahwa metode ini berlandaskan pada teori kemampuan dan kecerdasan
akal dalam latihan formal dalam psikoligi. Teori ini memandang bahwa akal terbagi
menjadi beberapa bagaian. Setiap bagian tersebut memiliki kekuatan dan
kemampuan tertentu, seperti kemampuan mengingat, berpikir, dan memecahkan
masalah.
D.
Fungsi Guru,
Siswa dan Materi Pelajaran[6]
Meskipun
memiliki otoritas di dalam kelas, dalam metode ini, fungsi dan peran guru
dipandang kurang begitu penting. Tugas guru hanya mengajarkan buku ajar,
menjelaskan semua materi dengan terperinci, tidak memiliki peran yang berarti
dalam memilih buku ajar, mengurangi, atau menambah materi lain ke dalamnya.
Guru tidak bisa merubah metode mengajar.
Dalam metode
ini, siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan menulis apa yang ia dengar
dari gurunya. Siswa tidak mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk berdiskusi
baik dengan guru maupun teman-temannya dengan menggunakan bahasa sasaran.
Selain itu, siswa juga sulit memunculkan ide atau mengajukan pendapat terkait
buku ajar dan metode yang digunakan.
Dalam metode
ini, kurikulum terdiri dari dua buku pelajaran, yaitu kaidah nahwu dan sharaf
serta membaca teks dan tidak boleh keluar dari kedua pelajaran tersebut. Hal
ini terjadi karena guru hanya dituntut untuk menjelaskan semua isi buku dengan
terperinci, sedangkan sisiwa dituntut untuk menghafal sebanyak mungkin kosakata
dan teks-teks berikut terjemahannya dalam bahasa ibu. Adapun buku-buku teks
yang diterjemahkan adalah buku-buku klasik bukan buku-buku modern yang memuat
kosakata yang sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan nyata. Oleh
karena itu, siswa tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain menggunakan
bahasa sasaran.
E.
Kelebihan dan
Kekurangan Metode Kaidah dan Terjemah[7]
Di antara kelebihan metode ini adalah:
1.
Siswa menguasai dalam arti menghafal di luar kepala
kaidah atau tata bahasa dari bahasa yang dipelajarinya.
2.
Siswa memahami bahan bacaan yang dipelajarinya
secara mendetail dan mampu menerjemahkannya.
3.
Metode ini memperkuat kemampuan siswa dalam
mengingat dan menghafal.
4.
Metode ini bisa diterapkan dalam kelas besar dan
tidak menuntut kemampuan guru yang ideal.
Sedangkan kekurangan metode ini antara lain :
1.
Metode ini lebih banyak mengajarkan tentang bahasa
bukan mengajarkan kemahiran berbahasa.
2.
Metode ini hanya menekankan kemahiran membaca dan
menerjemah,sedangkan kemahiran bahasa yang lain diabaikan.
3.
Siswa hanya mengenal satu ragam bahasa
sasaran,yaitu ragam bahasa tulis klasik,sedangkan ragam bahasa tulis modern dan
bahasa percakapan tidak diketahui.
4.
Disebabkan otak siswa dipenuhi dengan qawa'id,maka
tidak tersisa lagi tempat untuk ekspresi dan kreasi bahasa.
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri dari
bahasa lain. Dalam mempelajari bahasa Arab, orang yang
mempelajarinya membutuhkan pemahaman
yang mendalam tentang kaidah-kaidah bahasa Arab. Metode kaidah dan terjemah
merupakan metode yang menitikberatkan pada pemahaman kaidah-kaiadah bahasa Arab
tersebut dan penerjemahan. Peserta didik membutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam menghafal, baik menghafal qawaid-qawaid atau menghafal mufradat
dengan artinya. Tanpa qawaid-qawaid bahasa Arab tidak akan sempurna. Begitu pula
menterjemahkan bahasa Arab harus berdasarkan qawaid-qawaid.
Di
samping itu, metode kaidah dan terjemah mempunyai kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Namun, pada dasarnya metode ini dapat digunakan untuk mempelajari
bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA
El-Hushaili, Abdul
Aziz bin Ibrahim, Metode Pengajaran Bahasa Arab.
Hermawan, Acerp, 2011, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Izzan, Ahmad, 2011, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung:
Humaniora.
0 comments:
Post a Comment