BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini,
banyak orang yang tertarik untuk mengkaji tasawuf. Ketertarikan mereka
disebabkan oleh kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau naluri yang
menunjukkan bahwa manusia membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual dan
kecenderungan pada persoalan akademis.[1]
Namun apabila melihat realita kehidupan sekarang yang jauh dari kehidupan yang
bersifat spiritual, manusia yang sejatinya memerlukan kesejukan dan kedamaian
hati memilih tasawuf sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang
mampu memberikan kedamaian hati.
Untuk mencapai
salah satu tujuan tasawuf, yakni mendekatkan diri kepada Tuhan guna mendapatkan
ketenangan jiwa tersebut, dibutuhkan suatu jalan yang harus ditempuh yang
disebut dengan tarekat. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan
menguraikan pengertian, sejarah dan perkembangan, dan aliran-aliran tarekat
dalam Islam sebagai pengenalan atau langkah awal dalam menjalankan suatu
tarekat.
BAB II
TAREKAT
A.
Pengertian
Tarekat
Dari segi
bahasa, tarekat berasal dari bahasa Arab yaitu thariqah yang berarti jalan,
cara, metode, sistem, madzhab, aliran, haluan, keadaan, pohon kurma yang
tinggi, tiang tempat berteduh, tongkat paying, dan goresan.[2]
Menurut Jamil Shaliba tarekat berarti jalan yang terang, lurus yang
memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat.[3]
Tarekat merupakan jalan yang berpangkal dari syariat yang ditempuh para sufi.
Tidak ada tarekat tanpa ada syar’ yang merupakan jalan utama. Pengalaman mistik
yang merupakan cabang dari syar’ tidak mungkin didapat bila syariat yang
mengikat tidak ditaati terlebih dahulu.[4]
Untuk mendapatkan pengalaman mistik maka terlebih dahulu harus menaati syariat.
Asy-syekh
Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga definisi tarekat, sebagai berikut:[5]
“Tarekat
adalah pengalaman syariat, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan
menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang
tidak boleh dipermudah.”
“Tarekat
adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan
kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak
(batin).”
“Tarekat
adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang
sifatnya mengandung) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang
disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang
arif (syekh) dari (sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.”
Bersandar pada
tiga definisi di atas, tarekat adalah pengalaman syariat dalam melaksanakan
beban ibadah, baik berupa menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan yang
nyata maupun batin, dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Tuhan
dengan kesanggupannya di bawah bimbingan sufi dengan suatu tujuan.
L. Massignon
mendefiniskan tarekat berdasarkan perkembangannya menjadi dua pengertian,
yaitu:[6]
Pertama, sekitar abad
kesembilan dan kesepuluh Masehi, istilah tarekat diartikan sebagai pendidikan
kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan
tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqamat
dan Al-Ahwal.
Kedua, sesudah abad kesembilan Masehi istilah tarekat
diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang dibuat oleh
seorang syekh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu. Seorang syekh
menganut suatu aliran tarekat, lalu mengamalkannya bersama dengan
murid-muridnya.
Pengertian
tarekat yang kedua di atas, menurut Harun Nasution mengandung arti bentuk suatu
organisasi (tarekat) yang mempunyai syekh, upacara ritual dan bentuk zikir
tertentu.[7]
Guru dalam
tarekat yang sudah melembaga disebut Mursyid atau Syekh dan wakilnya disebut
Khalifah. Pengikutnya disebut murid. Adapun tempatnya disebut ribath atau
zawiyah atau taqiyah. Setiap tarekat memiliki amalan atau ajaran wirid tertentu,
simbol-simbol kelembagaan, tata tertib dan upacara-upacara lainnya yang
membedakan antara satu tarekat dengan tarekat lainnya. Keberadaan syekh sangat
menentukan terhadap muridnya. Orang yang menjalankan tarekat harus menjalankan
syariat. Oleh karena itu, seorang murid harus melakukan hal-hal sebagai
berikut:[8]
1.
Mempelajari ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan syatiat agama.
2.
Mengamati dan berusaha semaksimal
mungkin untuk mengikuti jejak guru dan melaksanakan perintahnya dan
meninggalkan larangannya.
3.
Tidak mencari-cari keringanan dalam
beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4.
Berbuat dan mengisi waktu seefisien
mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhusuan dalam
mencapai maqomat yang lebih tinggi.
5.
Mengekang hawa nafsu agar terhindar
dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Dengan
demikian, tarekat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada
Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syekh.
Kemudian kelompok ini menjadi lembaga yang mengumpulkan dan mengikat sejumlah
pengikut dengan aturan-aturan tertentu. Sehingga dapat disebutkan bahwa tarekat
adalah tasawuf yang melembaga.[9]
B.
Sejarah dan
Perkembangan Tarekat
Menurut Dr.
Kamil Musthafa Asy-Syibi, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan tokoh pertama
yang memperkenalkan sistem tarekat pada tahun 561 H./1166 M. di Baghdad. Selain
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, ada dua nama yang dianggap sebagai pencetus
tarekat yaitu Sayyid Ahmad Ar-rifa’I di Mesir dengan tarekat Rifa’iyyah dan
Jalal Ad-Din Ar-Rumi pada tahun 672 H./1273 M. di parsi.[10]
Harun Nasution
mengungkapkan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya
dikatakan sesat, tasawuf berkembang melalui tarekat. Tarekat dipandang sebagai
organisasi yang dibentuk oleh pengikut sufi-sufi besar untuk melestarikan
ajran-ajaran tasawuf gurunya. Sebagaimana
telah disebutkan bahwa tarekat mempunyai suatu tempat pusat kegiatan
sebagai tempat berkumpul para murid untuk melstarikan ajaran tasawuf gurunya
yang disebut ribat, zawiyah, hangkah, atau pekir.[11]
Tarekat ini muncul karena semakin meluasnya pengaruh tasawuf yang membuat
banyak orang tertarik untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, mereka menemui
orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengamalan
tasawuf yang dapat menuntun mereka untuk dijadikan sebagai guru. Mereka
memandang bahwa belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun
berdasarkan pengalaman dalam tasawuf merupakan suatu keharusan. Setiap guru
mempunyai sistem pengajaran yang berbeda-beda tergantung pengalamannya. Sistem
pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang
membedakannya dengan terkat lain.[12]
Adapun menurut
Jhon O. Voll, penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah Islam,
dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan
melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustakaan
tentang kesalehan. Kemudian para sufi kadang-kadang terlibat konflik dengan
otoritas-otoritas dalam kemunitas Islam dan memberikan alternative terhadap
orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh kebanyakan
ulama. Selanjutnya, secara bertahap para sufi menjadi figur-figur penting dalam
kehidupan keagamaan di kalangan masyarakat awam dan mulai mengumpulkan kelompok
pengikut yang diikat bersama oleh jalan tarekat sang guru. Menjelang abad ke-12
M., tarekat ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen
dan kemudian muncul sebagai organisasi social utama dalam komunitas Islam.[13]
Bentuk-bentuk
tarekat di seluruh Dunia Islam sangat beragam. Bentuknya mulai dari tarekat
sederhana berupa serangkaian kediatan ibadah hingga organisasi antarwilayah
yang amat besar dengan struktur yang didefinisikan secara hati-hati.
Tarekat-tarekat ini ada yang berumur pendek yang berkembang di seputar individu
tertentu ada juga yang berumur panjang dengan koherensi institusional. Tarekat
tidak terbatas pada kelas sosial tertentu.[14]
Pada awal
kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan
Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa tarekat, yaitu
tarekat Yasafiyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi (562 H./1169 M.), tarekat
Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani (617 H./1220
M.), tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandi
Al-Awisi Al-Bukhari (1389 M.) di Turkistan, dan tarekat Khalwatiyah yang
didirikan oleh Umar Al-Khalwati (1397 M.). Di Mesopotamia muncul
tarekat-tarekat lain, yaitu tarekat Qadiriyah yang oleh Muhy Ad-Din Abd
Al-Qadir Al-Jailani (471 H./1078 M.), tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan
kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili (593-656 H./1196-1258 M.), dan tarekat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’I (1106-1182 M.). Banyak
bermunculan tarekat baru sebagai cabang dari tarekat induk. Qodiriyah mempunyai
cabang-cabang tarekat, diantaranya tarekat Faridiyah (1234 M.) di Mesir yang
dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid yang kemudian mengilhami tarekat Sanusiyah
yang didirikan oleh Muhammad bin Ali Al-Sanusi (1787-1859 M.) melalui tarekat
Idrisiyah yang didirikan oleh Ahmad bin Idris di Afrika Utara yang masuk ke
India melalui Muhammad Al-Ghawthiyah (1517 M.) yang dikenal dengan tarekat
Al-Ghawthiyah atau Al-mirajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi
(1041 H./1631 M.). cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni
suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan
baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya.[15]
C.
Aliran-aliran
Tarekat dalam Islam[16]
Di bawah ini akan diuraikan secara
singkat beberapa aliran tarekat dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.
Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah
adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd Al-Qadir Al-Jailani
(470-561 H./1077-1166 M.). Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam
sejarah spiritualitas Islam karena sebagai pelopor munculnya organisasi tarekat
dan cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Meskipun
struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kewafatannya, syekh
memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Ia
dipandang sebagai sosok ideal dalam pencerahan spiritual. Di antara praktik
tarekat Qadiriyah adalah dzikir. Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai
tingkatan penekanan dan intensitas.
2.
Tarekat Syadziliyah
Tarekat ini
disnisbatkan kepada Abu Al-Hasan Asy-Syadzili (593-656 H./1196-1256 M.).
Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar dunia muslim. Tarekat ini mempunyai
cabang-cabang di Afrika Utara yang diwakili oleh Fasiyah dan Darqawiyah. Selain
itu, tarekat ini juga mempunyai 14 cabang di Mesir yang dikenal pada tahun
1985.
3.
Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat
Naqsabandiyah didirikan oleh oleh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandi Al-Awisi
Al-Bukhari (1389 M.) di Turkistan. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia
Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Selanjutnya,
tarekat ini menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia
dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya, seperti tarekat
Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah. Tarekat ini mengikuti
syariat dengan ketat, keseriusan dalam beribadah, menolak musik dan tari, dan
lebih menyukai dzikir dalam hati. Selain itu, tarekat ini juga melakukan upaya
serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta
mendekati negara pada agama.
4.
Tarekat Yasafiyah dan
Khawajagawiyah
Tarekat
Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi (562 H./1169 M.) dan disusul oleh
tarekat Khawajagawiyah yang didukung oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani (617 H./1220 M.). Kedua tarekat
ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami dan dilanjutkan oleh Abu
Al-Farmadhi dan Yusuf bin Ayyub Al-Hamadani. Di Turki, tarekat ini berganti
nama dengan terkat Bektashiya yang didirikan oleh Muhammad Ata bin Ibrahim
Hajji Bektasy.
5.
Tarekat Khalwatiyah
Tarekat
Khalwatiyah didirikan oleh Umar Al-Khalwati (1397 M.). tarekat ini berkembang
di Turki, Syiriah, Mesir, Hijaz, dan Yaman. Tarekat ini mempunyai beberapa
cabang, antara lain tarekat Sammaniyah, Hafniyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah
yang berkembang di India, dan Maulawiyah yang berkembang di kawasan Turki.
6.
Tarekat Syatariyah
Tarekat
Syatariyah didirikan oleh Abdullah bin Syattar (1485 M.) di India. Tarekat ini
tidak mementingkan syariat termasuk kewajiban shalat lima waktu, tetapi
mementingkan shalat permanen. Dasar tarekat ini adalah martabat tujuh yang
sebenarnya tidak begitu erat hubungannya dengan praktik ritualnya.
7.
Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah
didirikan oleh syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani (1150-1230 H./1737-1815 M.).
Al-Tijani diyakini oleh pengikutnya sebagai wali agung yang memiliki derajat
tertinggi dan memiliki banyak keramat. Ada dua amalan yang dilakukan tarekat
ini, yaitu wirid wajibah yang wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, dan
memiliki ketentuan pengamalan dan waktu
serta menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah, dan
wirid ikhtiyariyah yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk
mengamalkannya dan tidak menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid
Tijaniyah.
8.
Tarekat Sanusiyah
Tarekat ini
didirikan oleh Sayyid Muhammad bin Ali As-Sanusi. Dalam tarekat ini, dzikir
bisa dilakukan bersama-sama atau sendirian. Tujuan dzikir itu lebih dimaksudkan
untuk “melihat Nabi” daripada “melihat Tuhan”. Oleh karena itu, untuk “melihat
Nabi”, orang yang melakukan dzikir harus konsentrasi membayangkan diri Nabi di
dalam hatinya sampai ia dapat melihatnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari segi
bahasa, tarekat berasal dari bahasa Arab yaitu thariqah yang berarti jalan,
cara, metode, sistem, madzhab, aliran, haluan, keadaan, pohon kurma yang
tinggi, tiang tempat berteduh, tongkat paying, dan goresan. Tarekat merupakan
jalan yang berpangkal dari syariat yang ditempuh para sufi. Tidak ada tarekat
tanpa ada syar’ yang merupakan jalan utama. Tarekat adalah pengalaman syariat
dalam melaksanakan beban ibadah, baik berupa menjauhi larangan dan melakukan
perintah Tuhan yang nyata maupun batin, dan meninggalkan segala sesuatu yang
diharamkan Tuhan dengan kesanggupannya di bawah bimbingan sufi dengan suatu
tujuan.
Tarekat muncul
karena semakin meluasnya pengaruh tasawuf yang membuat banyak orang tertarik
untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, mereka menemui orang yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengamalan tasawuf yang dapat
menuntun mereka untuk dijadikan sebagai guru. Pada awal kemunculannya, tarekat
berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Kemudian
muncul berbagai cabang dari tarekat induk. Cabang-cabang itu muncul sebagai
akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari
gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang
diperolehnya.
Bentuk-bentuk tarekat
di seluruh Dunia Islam sangat beragam. Bentuknya mulai dari tarekat sederhana
berupa serangkaian kediatan ibadah hingga organisasi antarwilayah yang amat
besar dengan struktur yang didefinisikan secara hati-hati. Tarekat-tarekat ini
ada yang berumur pendek yang berkembang di seputar individu tertentu ada juga
yang berumur panjang dengan koherensi institusional. Tarekat tidak terbatas
pada kelas sosial tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar , Rosihon,
2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa, A.,
1997, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Nasution,
Harun, 1978, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Pers.
Nata , Abuddin,
2012, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers.
Solihin, M.
dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
[1]
M. Solihin dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka
Setia, hlm. 16.
[2]
Rosihon Anwar, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 305.
[3]
Abuddin Nata, 2012, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 269.
[4]
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 203.
[5]
A. Mustofa, 1997, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 280-281.
[6]
Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 306-307.
[7]
Harun Nasution, 1978, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI
Pers, hlm. 89.
[8]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 271-172.
[9]
Ibid., hlm. 271.
[10]
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Op. Cit. hlm. 207.
[11]
Ibid.
[12]
Rosihon Anwar, Op. Cit. hlm. 309.
[13]
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Op.Cit. hlm. 208.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid., hlm. 209-210.
[16]
Ibid., hlm. 211-218.
0 comments:
Post a Comment